Saturday, February 2, 2013

Menimbang: Percayalah daku, Memutuskan: Kau kecewa

Entah masih segar atau sudah terlupakan bencana yang dialami petani cengkeh 17 tahun silam. Dengan secarik kertas yang disebut tata niaga, dibentuklah BPPC badan usaha yang bersifat monopolis sekaligus monopsonis. Monopsonis karena BPPC adalah satu-satunya pembeli bagi petani cengkeh, monopolis karena BPPC sekaligus penjual tunggal bagi pabrik rokok. 

Triknya selalu sama, bagian menimbang dalam regulasi selalu indah dan menghembuskan angin surga. Mari kita baca bagian menimbang dari Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1992: 

Menimbang: bahwa untuk menjaga tingkat harga cengkeh produksi dalam negeri dan memperkuat kemampuan guna membantu petani cengkeh dalam melakukan diversifikasi dan konversi tanaman cengkeh, dipandang perlu meninjau kembali pengaturaan tata niaga cengkeh hasil produksi dalam negeri


Mulia bukan? Tentu ... tentu ... tentu saja, bagian "menimbang" dalam regulasi selalu mulia 

Sekarang bagian "Memutuskan" dalam regulasi tersebut. Untuk membantu petani cengkeh perlu biaya, maka perlu ada pungutan: "Terhadap penjualan cengkeh oleh badan penyangga kepada pabrik rokok kretek atau konsumen lainnya dikenakan Sumbangan Diversifikasi Tanaman Cengkeh (SDTC) yang besarnya Rp. 150,- (seratus lima puluh rupiah) untuk setiap kilogram." Disebut "sumbangan" saudara-saudara, bukan "pungutan." 

Kalau biasanya peraturan pelaksanaan tertunda-tunda, tidak demikian dengan Kepres ini, semua mesin pemerintahan dikerahkan untuk menyukseskan tugas mulia ini. Segera menyusul Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1992, tentang harga pasar pembelian cengkeh oleh KUD kepada petani dengan dua kualitas, masing-masing Rp 7900/kilo dan Rp 6000/kilo. Dimuluskan pula oleh Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 91/KP/IV/92. Demi tercapainya tujuan mulia membantu petani, pemerintah kemudian mengucurkan ... koreksi ... menggelontorkan dana Rp 759 miliar. Duit itu berasal dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI), yang dikucurkan melalui Bank Bumi Daya Rp 569 miliar dan kredit komersial Rp 190 miliar.

Almarhum Sjahrir sudah "berteriak" waktu itu. Jika harga ditetapkan tinggi di luar mekanisme pasar apa yang terjadi? pertama petani tentu diuntungkan. Dengan harga cengkeh yang tinggi petani akan terdorong menjual cengkeh lebih banyak. Cengkeh yang tadinya ditolak tengkulak cengkeh karena tidak memenuhi baku mutu, dijual kepada BPPC. Sebaliknya, apa yang dilakukan pabrik rokok? pabrik rokok akan mulai menurunkan mutu rokoknya, ramuan cengkeh dikurangi. Atau jika pabrik rokok itu nakal, maka dia akan berkong-kalikong dengan aparat untuk menyelundupkan cengkeh dari Madagaskar yang lebih murah. 

Singkat kata, akan terjadi peningkatan pasokan cengkeh dari petani, dan penurunan permintaan cengkeh oleh pabrik rokok. Kelebihan pasokan dibanding permintaan tidak boleh lolos ke pasar karena akan menurunkan harga cengkeh. Jadi BPPC harus menyimpan kelebihan pasokan di gudang-gudang yang harus dibangun atau disewa oleh BPPC.

Tapi bukankah BPPC sudah mendapat gelontoran Rp. 759 miliar, tentu tidak sulit baginya untuk membangun atau menyewa gudang-gudang penyimpanan Cengkeh? Oh anda terlalu naif mengajukan pertanyaan itu. Alih-alih membangun gudang, BPPC mulai berperilaku tidak beda dengan tengkulak, menolak membeli cengkeh dari petani dengan alasan cengkeh yang dijual petani tidak sesuai baku mutu. Pada saat yang sama BPPC juga mulai "memaksa" pabrik rokok untuk membeli semua cengkeh yang dibeli BPPC dari petani. Persis seperti yang diramalkan almarhum Sjahrir ... ah ... tapi Sjahrir adalah lulusan Harvard, pasti dia Neolib yang disetir asing untuk menindas petani.

Benar kata pepatah "jalan ke 'neraka' diaspal dengan niat baik." Seandainyapun niatnya baik (setidak-tidaknya seperti tercantum dalam bagian menimbang Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1992), namun jika suatu kebijakan tidak rasional, seperti dikemukakan almarhum Sjahrir, maka 'neraka' bagi petani yang sudah diramalkan cepat atau lambat akan terjadi. Sampai dicabutnya Kepres No 20 tahun 1998, BPPC sudah menangguk untung sebesar Rp. 1.3 triliun. Bagaimana nasib petani? sejak 1992 harga cengkeh bukannya naik, justru anjlok. Karena putus asa, petani mengkonversi lahan cengkeh menjadi akasia dan karet (aaaah tercapai tujuan bagian menimbang kepres tersebut). Saat ini lahan cengkeh tinggal 20%. 

"Percayalah daku, kau kecewa" bukan hanya terjadi pada petani cengkah saja, tetapi juga terjadi pada petani jeruk, petani gula, sampai skema koperasi.

Friday, February 1, 2013

Kambing Hitam

Scape•goat \ˈskāp-ˌgōt\, noun: a: one that bears the blame for others, b: one that is the object of irrational hostility

Di dunia fauna, konflik tidak pernah terekskalasi sampai memunahkan spesies. Kalau anda senang menonton film-film yang diproduksi oleh National Geographic, anda bisa menyaksikan bahwa konflik di dunia hewan biasanya terkait dengan perebutan dominasi baik perebutan teritori, atau perebutan betina. Konflik perebutan betina, misalnya akan berhenti setelah salah satu pihak berhasil menunjukkan siapa yang lebih kuat. Pecundang mundur teratur dan tidak dibunuh oleh pemenang.

Di dunia manusia, mungkin karena proses evolusi sudah mengganti insting dengan akal, insting membatasi konflik ini menjadi kurang menonjol. Akibatnya, konflik antar manusia punya potensi terekskalasi tanpa batas sampai menghancurkan spesies itu sendiri. Lantas bagaimana umat manusia bisa bertahan di tengah potensi eskalasi konflik tanpa batas ini? Jawabannya: melalui mekanisme kambing hitam. Teori Rene Girard mungkin bisa membantu kita memahami mekanisme kambing hitam ini.

Teori Girard

Pertama, Girard menelaah asal usul konflik. Menurut Girard akar konflik adalah mimetic desire. Individu mengingini sesuatu bukan hanya demi fungsi dan jasa yang diberikan oleh sesuatu itu, tetapi juga karena prestise yang melekat pada sesuatu tersebut. Girard selanjutnya menambahkan bahwa desire itu bersifat mimetic. Saya “belajar” mengingini suatu obyek dari orang lain yang memiliki obyek tersebut. 

Ibu-ibu tentu sering mengamati perilaku anak-anak ketika sedang bermain. Satu mainan yang tadinya tergeletak di pojok dan diabaikan mendadak menjadi obyek perebutan ketika satu anak mengambil mainan tersebut. Dalam film Confession of a Shopaholic, Rebecca Bloom yang pada mulanya ragu-ragu dan tidak jadi membeli sepatu boot, mendadak makin bernafsu membeli sepatu boot setelah mengetahui ada kastemer yang mengingini sepatu tersebut. Remaja mengingini BB setelah melihat temannya memiliki BB. Ibu arisan mengingini Hermes setelah melihat teman arisannya memiliki Hermes. Singkat kata, saya (subyek) belajar dari orang lain (model) untuk mengingini sesuatu (obyek). Girard menyebutnya the triangle of desire

Selanjutnya, Girard menunjukkan bagaimana mimetic desire itu bisa memicu konflik semua terhadap semua. Karena obyek yang diingini subyek telah dimiliki oleh sang model, maka sang model sekaligus menjadi halangan bagi subyek untuk mendapatkan obyek yang diingini itu. Mirip lirik lagu benci tapi rindu, subyek rindu terhadap model (karena sang model menjadi panutan) sekaligus benci (karena sang model menghalangi subyek memiliki apa yang subyek ingini). Karena setiap orang bisa menjadi model bagi yang lain, maka selalu ada potensi konflik semua terhadap semua. 

Pada bagian akhir teorinya, Girard menunjukkan bahwa konflik semua terhadap semua ini bisa diredam (sementara) jika ada proses pengkambing hitaman. Dalam situasi konflik, tangan-tangan mulai saling tuding satu sama lain. Saling tuding itu terus menular beranak-pinak sampai semua tangan saling tuding. Konflik menjadi konflik semua-terhadap-semua. Ekskalasi konflik ini terus berlangsung sampai “ditemukan” satu kambing hitam yang bisa dijadikan obyek tudingan bersama. Tudingan ke satu orang itu mulai kembali ditiru dan menular (mimetic) ... dia ... dia ... dia ... sampai akhirnya semua tudingan tangan mengarah ke satu orang atau satu kelompok. Setelah kambing hitam itu "ditemukan" maka korban itu dimusnahkan di altar persatuan dan solidaritas dipulihkan kembali. 

Girard mendokumentasikan jejak mekanisme kambing hitam ini dari telaah antropologis, mitos, dan sastra. Misalnya, masyarakat Yunani kuno menerapkan mekanisme pengkambinghitaman di mana orang cacat, pengemis, atau kriminal (disebut pharmakos) diusir dari komunitas sebagai tolak-bala terhadap becana alam, wabah penyakit, kelaparan, atau invasi. Rekam jejak itu juga tertulis dalam mitos Oedipus. Sindhunata menunjukkan legenda Watu Gunung di Jawa yang sangat mirip dengan cerita Oedipus.

Dalam sejarah modern, mekanisme kambing hitam ini digunakan oleh Hitler melalui propaganda anti Semitisme. Melalui mesin propagandanya yang efektif, Hitler menuding bahwa segala kemunduran ekonomi dan kekacauan politik di Jerman setelah Perang Dunia I disebabkan oleh keserakahan orang Yahudi. Dengan mengkambing-hitamkan orang Yahudi sebagai penyebab segala penderitaan rakyat Jerman, Hitler berhasil mempersatukan rakyat Jerman di atas tumpukan jutaan mayat orang Yahudi.

Bagaimana kambing hitam ini dipilih? Pertama, untuk memudahkan proses penudingan bersama, kambing hitam harus memiliki ciri yang mudah dibedakan, baik itu ciri fisik, budaya, maupun ciri perilaku yang dianggap "menyimpang." Dalam masyarakat prasejarah ciri fisik seperti albino, orang cacat, penderita kusta, anak kembar dianggap pembawa bencana. Dalam masyarakat modern, kelompok penduduk migran atau orang asing secara umum sering manjadi pilihan paling mudah untuk dijadikan kambing hitam. Kedua, agar mekanisme kambing hitam ini efektif, tentu saja kambing hitam itu harus lemah dan minoritas, kalau kuat tentu konflik tidak akan berakhir. 

Apakah kambing hitam selalu inosen? tidak selalu, after all, siapakah yang bebas dari dosa?. Yang menjadi ciri proses pengkambinghitaman bukanlah apakah kambing hitam itu bersalah atau tidak, tetapi usaha untuk merekayasa, membesar-besarkan, dan menambah-nambah kesalahan tersebut, sehingga semua bencana  bisa dilimpahkan padanya. Taktik lain yang digunakan adalah guilt by association menyamaratakan perilaku seluruh kelompok berdasarkan perilaku sebagian kecil anggauta kelompok tersebut. Paradoksnya proses ini tidak boleh terlihat sebagai proyek pengkambinghitaman. Jika ini terjadi maka proyek ini akan gagal.  Sesuai theory Girard, dengan mengorbankan kambing hitam di altar diskursus, eskalasi konflik bisa dihentikan. 

Cerita Oedipus dan penyaliban Yesus mungkin contoh paling pas untuk ini. Ketika Oedipus telah terusir Thebes terhindar dari bencana alam. Lebih baik satu orang dikorbankan demi keselamatan bangsa kata Kayafas. Dan setelah Yesus disalib, Herodes dan Pilatus berdamai kembali