Triknya selalu sama, bagian menimbang dalam regulasi selalu indah dan menghembuskan angin surga. Mari kita baca bagian menimbang dari Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1992:
Menimbang: bahwa untuk menjaga tingkat harga cengkeh produksi dalam negeri dan memperkuat kemampuan guna membantu petani cengkeh dalam melakukan diversifikasi dan konversi tanaman cengkeh, dipandang perlu meninjau kembali pengaturaan tata niaga cengkeh hasil produksi dalam negeri
Mulia bukan? Tentu ... tentu ... tentu saja, bagian "menimbang" dalam regulasi selalu mulia
Sekarang bagian "Memutuskan" dalam regulasi tersebut. Untuk membantu petani cengkeh perlu biaya, maka perlu ada pungutan: "Terhadap penjualan cengkeh oleh badan penyangga kepada pabrik rokok kretek atau konsumen lainnya dikenakan Sumbangan Diversifikasi Tanaman Cengkeh (SDTC) yang besarnya Rp. 150,- (seratus lima puluh rupiah) untuk setiap kilogram." Disebut "sumbangan" saudara-saudara, bukan "pungutan."
Kalau biasanya peraturan pelaksanaan tertunda-tunda, tidak demikian dengan Kepres ini, semua mesin pemerintahan dikerahkan untuk menyukseskan tugas mulia ini. Segera menyusul Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1992, tentang harga pasar pembelian cengkeh oleh KUD kepada petani dengan dua kualitas, masing-masing Rp 7900/kilo dan Rp 6000/kilo. Dimuluskan pula oleh Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 91/KP/IV/92. Demi tercapainya tujuan mulia membantu petani, pemerintah kemudian mengucurkan ... koreksi ... menggelontorkan dana Rp 759 miliar. Duit itu berasal dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI), yang dikucurkan melalui Bank Bumi Daya Rp 569 miliar dan kredit komersial Rp 190 miliar.
Almarhum Sjahrir sudah "berteriak" waktu itu. Jika harga ditetapkan tinggi di luar mekanisme pasar apa yang terjadi? pertama petani tentu diuntungkan. Dengan harga cengkeh yang tinggi petani akan terdorong menjual cengkeh lebih banyak. Cengkeh yang tadinya ditolak tengkulak cengkeh karena tidak memenuhi baku mutu, dijual kepada BPPC. Sebaliknya, apa yang dilakukan pabrik rokok? pabrik rokok akan mulai menurunkan mutu rokoknya, ramuan cengkeh dikurangi. Atau jika pabrik rokok itu nakal, maka dia akan berkong-kalikong dengan aparat untuk menyelundupkan cengkeh dari Madagaskar yang lebih murah.
Singkat kata, akan terjadi peningkatan pasokan cengkeh dari petani, dan penurunan permintaan cengkeh oleh pabrik rokok. Kelebihan pasokan dibanding permintaan tidak boleh lolos ke pasar karena akan menurunkan harga cengkeh. Jadi BPPC harus menyimpan kelebihan pasokan di gudang-gudang yang harus dibangun atau disewa oleh BPPC.
Tapi bukankah BPPC sudah mendapat gelontoran Rp. 759 miliar, tentu tidak sulit baginya untuk membangun atau menyewa gudang-gudang penyimpanan Cengkeh? Oh anda terlalu naif mengajukan pertanyaan itu. Alih-alih membangun gudang, BPPC mulai berperilaku tidak beda dengan tengkulak, menolak membeli cengkeh dari petani dengan alasan cengkeh yang dijual petani tidak sesuai baku mutu. Pada saat yang sama BPPC juga mulai "memaksa" pabrik rokok untuk membeli semua cengkeh yang dibeli BPPC dari petani. Persis seperti yang diramalkan almarhum Sjahrir ... ah ... tapi Sjahrir adalah lulusan Harvard, pasti dia Neolib yang disetir asing untuk menindas petani.
Benar kata pepatah "jalan ke 'neraka' diaspal dengan niat baik." Seandainyapun niatnya baik (setidak-tidaknya seperti tercantum dalam bagian menimbang Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1992), namun jika suatu kebijakan tidak rasional, seperti dikemukakan almarhum Sjahrir, maka 'neraka' bagi petani yang sudah diramalkan cepat atau lambat akan terjadi. Sampai dicabutnya Kepres No 20 tahun 1998, BPPC sudah menangguk untung sebesar Rp. 1.3 triliun. Bagaimana nasib petani? sejak 1992 harga cengkeh bukannya naik, justru anjlok. Karena putus asa, petani mengkonversi lahan cengkeh menjadi akasia dan karet (aaaah tercapai tujuan bagian menimbang kepres tersebut). Saat ini lahan cengkeh tinggal 20%.
"Percayalah daku, kau kecewa" bukan hanya terjadi pada petani cengkah saja, tetapi juga terjadi pada petani jeruk, petani gula, sampai skema koperasi.
No comments:
Post a Comment