Wednesday, July 25, 2012

Hitungan kasar ekonomi kedelai

Swasembada kedelai th 2014? Mari kita hitung bareng2:

SUPPLY
Import th 2011 = 2.088.615.511 kg
Yields = 13.724 Hg/Ha = 1372.4 kg/ha

Jadi keperluan lahan jika mau swasebada kedelai: 2.088.615.511/1372.4 = 1.521.871 Ha
kira2 2.5 x luas Jakarta

Saat ini luas lahan kedelai 661.711 Ha
untuk swasembada kedelai luas lahan harus 2.3 kali lipat luas lahan sekarang

***

DEMAND
Saya hitung dengan tabel IO-2005 175 sektor
Konsumsi kedele dan produk kedelai tidak sampai 2.5% konsumsi makanan, dan tidak sampai 1% total konsumsi

***

HARGA
Apakah kalau swasembada terus harga bakal murah?
Tidak juga. Biaya produksi berbanding terbalik dengan produktivitas

Yield kedelai US 2.5 x yields Indonesia
Berarti biaya produksi di Indonesia 2.5 kali biaya produksi US
***
PILIHAN KEBIJAKAN
Option 1: tidak perlu swasembada kedelai. Orang kedelai dan produk kedelai hanya bagian kecil dari total konsumsi. Kurangi konsumsi kedelai. Ganti dengan sumber protein lain. Kalau mau stabilisasi harga dan jamin ketersediaan, gunakan instrumen stock kedelai impor melalui Bulog.
Option 2: dalam jangka panjang (tidak harus 2014) tingkatkan produktivitas kedelai dengan menyediakan benih dengan yields yang tinggi. Namun kabarnya, agar optimum kedelai yield tinggi ini juga memerlukan lahan yg luas 
sumber data dr FAOSTAT http://faostat.fao.org/site/567/default.aspx#ancor  & Comtrade  http://comtrade.un.org/

Thursday, July 5, 2012

Urat Malu vs Urat Rasa Bersalah

Setelah mandi di danau dua orang sadar bahwa pakainnya telah di curi orang. Yang satu berlari secepat mungkin kembali ke desa dengan menutupi kemaluannya. Yang satu melenggang santai dengan menutupi seluruh wajahnya dengan handuk.

Dalam percakapan sehari-hari, sering kita mendengar ungkapan "urat malunya sudah putus." tapi jarang kita mendengar ungkapan "urat rasa bersalahnya sudah putus." Ungkapan ini mengingatkan saya pada analisis klasik tentang "Shame Culture" vs "Guilt Culture." Terus terang saya belum pernah membaca tulisan aslinya, namun saya memberanikan diri untuk mengangkat masalah ini karena menurut saya ini relevan dengan isyu pemberantasan korupsi yang sedang marak akhir-akhir ini.

Urat Malu

Dalam masyarakat di mana budaya malu dominan, maka citra diri di mata orang lain memiliki pengaruh lebih kuat dalam membentuk perilaku seseorang tersebut dibanding nilai-nilai internal yang diyakininya. Tabel berikut memberikan skema tentang bagaimana budaya malu mempengaruhi perilaku seseorang. Tidak ada masalah jika citra diri di mata orang lain dan citra diri di mata diri sendiri sejajar. Masalah timbul ketika hal sebaliknya yang terjadi.



sumber: http://www.doceo.co.uk/background/shame_guilt.htm

Perhatikan bahwa budaya malu dapat menjadi cek kosong untuk melakukan perbuatan yang salah asal tidak diketahui orang lain. Sebaliknya, jika dia yakin benar tapi dipermalukan orang lain, dia akan menarik diri dan bersembunyi atau dia melakukan tindakan kriminal untuk menutupi rasa malunya atau demi mengembalikan kehormatannya. Dalam budaya malu juga hampir tidak mungkin bagi seseorang untuk mengakui kesalahannya di hadapan publik. Dalam kasus ekstrim, kritik terbuka adalah tabu.

Budaya malu banyak dijumpai dalam masyarakat kolektivis. Misalnya, di Madura dikenal adat carok. Jika ada yang dipermalukan, biasanya terkait dengan perselingkuhan, maka pria yang diselingkuhi akan membunuh lelaki yang menyelingkuhi istrinya dengan celurit. Pelaku carok biasanya menyerahkan diri ke Polisi setelah membunuh saingannya. Tradisi Siri Bugis dengan pepatahnya "jika badik tealh dicabut, pantang disarungkan sebelum bersimbah darah" juga menggambarkan hal ini. Saya juga tertarik dengan sinetron-sinetron reliji, di mana di akhir cerita biasanya sang tokoh jahat dipermalukan di hari kematiannya. Menurut saya ini juga menunjukkan kuatnya pengaruh budaya malu.

Di negara lain, "honour killing" [http://en.wikipedia.org/wiki/Honor_killing] pembunuhan salah satu anggota keluarga karena anggota keluarga tersebut mempermalukan keluarga sering ditemukan di Timur Tengah. Tradisi Harakiri di Jepang juga didorong oleh budaya malu ini. Di negara di mana budaya malu tidak dominan terdapat juga 'sub-culture' yang didominasi budaya malu, Mafia misalnya.

Bagaimana mereka yang hidup dalam budaya malu bereaksi jika dipermalukan? Mereka akan mendistorsi realitas dengan cara apapun untuk melindungi dirinya dari hancurnya "self esteem." Salah satunya adalah dengan menyalahkan orang lain, atau mencari yang lebih inferior dari dirinya sebagai batu pijakan untuk mengangkat kembali kehormatannya. Contoh yang sering diajukan adalah perlakuan buruk terhadap perempuan untuk mendongkrak ego laki-laki dalam budaya patriarkat (yang sering kali bersinggungan denga budaya malu).

Urat Rasa Bersalah

Kalau dalam budaya malu kata kuncinya adalah "saya buruk" (di mata orang lain) dalam budaya rasa bersalah kata kuncinya adalah "perilaku saya buruk" Budaya rasa bersalah itu terutama tentang perilaku dan tindakan, sementara budaya malu itu tentang citra diri.

Dalam masyarakat yang berbudaya rasa bersalah, maka orang yang yakin tidak bersalah, namun dituduh bersalah akan berjuang secara agresif namun tidak akan menggunakan cara-cara kriminal, karena cara kriminal hanya menggeser rasa bersalah yang satu ke rasa bersalah yang lain. Sebaliknya dia akan tetap memegang komitmennya mempertahankan nilai-nilai moral kendati tidak ada seorangpun yang mengetahui. Masyarakat di mana budaya rasa bersalah dominan biasanya memperhatikan kebenaran, keadilan dan hak-hak individu.

Tuesday, July 3, 2012

Membangun Modal Insani, Mengatasi Kesenjangan

Dalam tulisan ini, saya membahas kebijakan pendidikan nasional, khususnya untuk Pendidikan Tinggi.  Untuk setiap kebijakan kita perlu bertanya apa tujuan dari kebijakan tersebut, memikirkan berbagai alternatif, dan akhirnya memilih alternatif paling optimal untuk mencapai tujuan tersebut. Di sini saya memusatkan analisis saya pada dua tujuan pendidikan tinggi (a) untuk meningkatkan modal insani dengan cara paling efiesien (b) mengurangi kesenjangan pendapatan.

Tujuan mulia ini mudah diucapkan, namun tentu saja tidak mudah untuk dicapai. Pertama pendidikan tinggi yang bermutu itu mahal, sementara dana yg tersedia terbatas dan diperlukan juga untuk tujuan tujuan mulia lainnya seperti meningkatkan kesehatan penduduk. Jadi pertanyaan pertama yg harus dijawab adalah bagaimana membiayai pendidikan tinggi yang mahal tersebut. Kedua, masalah klasik adanya kemungkinan trade-off jika tujuan yang ingin dicapai lebih dari satu. Terkait dengan ini, pertanyaan yang harus dijawab adalah model pembiayaan seperti apa yang bisa mencapai dua tujuan mulia tersebut sekaligus?

Modal pembiayaan paling umum untuk pendidikan tinggi adalah melalui sistim perpajakan. Dalam sistim ini mereka yang memutuskan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi mendapat pedidikan murah karena disubsidi, atau bahkan gratis. Semua pembayar pajak membiayai pendidikan sebagian kecil penduduk yang melanjutkan ke perguruan tinggi.

Di sini kita langsung dihadapkan pada pertanyaan tentang kemampuan sistim ini mencapai tujuan kedua - mengurangi kesenjangan. Berbeda dengan pendidikan dasar dan menengah yang sifatnya wajib. Melanjutkan ke pendidikan tinggi adalah pilihan. Untuk pendidikan dasar dan menengah, semua warga menanggung pendidikan itu melalui pajak (atau biaya oportunitas karena pengeluaran untuk pendidikan tinggi tersebut tidak bisa digelar untuk tujuan lain). Namun karena sifatnya universal, semua rumah tangga menikmati apa yang mereka bayarkan. Untuk pendidikan tinggi, hanya sebagian kecil yang menikmati, namun semua menanggung biayanya.

Bahkan sitim ini cenderung menciptakan reverse redistribution. Mereka yang memilih melanjutkan ke PT tidak bekerja selama beberapa tahun dan setelahnya menjadi tenaga kerja terdidik dengan pendapatan yang jauh lebih tinggi dibanding mereka yang hanya menyelesaikan pendidikan dasar menengah. Sementara yang membayar pendidikan itu termasuk, bahkan mungkin sebagian terbesar, mereka yang memutuskan tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Jika ditotal pendapat seumur hidup mereka yang mampu menjadi tenaga kerja terdidik tentu lebih tinggi dibanding pendapatan seumur hidup mereka yang membiayai pendidikan tersebut. Jadi ex-post, sistim ini tidak mampu mencapai tujuan kedua, bahkan cenderung menciptakan (ex-post) reverse redistribution

Hasil penelitian empiris juga menunjukkan bahwa Perguruan Tinggi memberikan manfaat sosial yg jauh lebih kecil dibanding manfaat pribadinya yaitu upah tinggi yang dinikmati setelah lulus kuliah dan bekerja. Sebaliknya pendidikan dasar dan menengah memberikan manfaat sosial yang jauh lebih besar dari manfaat pribadinya. Karena alasan ini, wajar jika mereka yang  melanjutkan ke perguruan tinggi membiayai pendidikannya sendiri.

Bagaimana mereka yang memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi ini membiayai pendidikan mereka? salah satu alternatif adalah berutang, toh nanti akan bisa membayar kembali utang tersebut setelah lulus kuliah. Alternatif ini bisa mencapai tujuan pertama, secara efisien meningkatkan modal insani. Alternatif ini juga tidak menimbulkan redistribusi sungsang, tetapi lagi-lagi, alternatif ini tidak akan mencapai tujuan kedua, tujuan pemerataan.

Pertama, akses ke lembaga perbankan tidak sempurna, kemungkinan besar hanya yang kaya yang akan mampu menikmati akses ini. Kedua, berbeda dengan investasi di modal fisikal, ada kolateral yang bisa dijaminkan yaitu modal fisik itu sendiri. Sebaliknya modal insani sifatnya nirwujud, jadi tidak ada kolateral yang se"cair" penanaman modal fisikal, kecuali kita mengijinkan perbudakan. Karena alasan tidak adanya kolateral ini, pihak perbankan enggan untuk memberi pinjaman seperti ini. Ketiga, ada perbedaan antara orang miskin dan orang kaya dalam resiko yang dihadapi ketika berutang. Jika setelah lulus, yang miskin gagal mendapat pekerjaan dengan upah yang memadai, mereka akan terjerat utang yang makin memiskinkan. Sebaliknya orang kaya sedikit banyak memiliki "asuransi" terhadap resiko tersebut. Secara ex-ante, sistim ini sudah tidak adil.  Singkat kata menyerahkan sepenuhnya pembiayaan pendidikan melalui mekanisme pasar tidak akan mencapai tujuan kebijakan pendidikan tinggi yang disebut di awal tulisan.

Alternatif ketiga pemerintah yang memberi utang ke mereka yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Setelah lulus, mereka membayar kembali utang tersebut dengan bunga yang mungkin disubsidi. Alternatif ini memecahkan masalah akses, karena yang memutuskan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi otomatis mendapat akses yang mudah dan sama. Alternatif ini juga tidak menimbulkan efek redistribusi sungsang, karena pada dasarnya mereka membiayai pendidikannya sendiri. Namun kembali sistim ini tidak memecahkan perbedaan resiko yang dihadapi orang kaya vs orang miskin. Insentif untuk berutang ke pemerintah lebih besar bagi yang kaya dibanding yang miskin karena perbedaan sumber daya untuk mengatasi resiko gagal bayar utang tersebut.

Alternatif terakhir pajak sarjana. Di sini, pemerintah sepenuhnya menanggung biaya pendidikan semua mahasiswa. Setelah lulus, pemerintah memungut pajak ekstra setelah mahasiswa tersebut bekerja dan mencapai tingkat pendapatan tertentu. Ditambah lagi, sarjana yang gagal mencapai tingkat pendapatan tertentu tidak dikenakan pajak ekstra ini.

Sistim ini walau tidak sepenuhnya sempurna, namun memenuhi tujuan yang disampaikan di awal tulisan. Pertama, sistim ini efisien karena setiap orang memutuskan dan menghitung sendiri untung rugi keputusan menanam modal insani bagi dirinya sendiri. Kedua, sistim ini tidak menimbulkan redistribusi sungsang seperti di sistim tradisonal pembiayaan melalalui pajak umum. Di sini mahasiswa pada dasarnya membiayai dirinya sendiri, pemerintah mengatasi masalah antar waktu dengan menalangi biaya pendidikan. Ketiga, sistim ini membuka akses yang sama bagi semua baik yang kaya maupun yang miskin. Keempat, karena resiko kegagalan mencapai pendapatan yang memadai setelah lulus ditanggung oleh pemerintah (atau oleh sarjana yang sukses) maka sistim ini memberi insentif yang sama bagi yang miskin maupun yang kaya. Tidak ada hambatan ex-ante di sini