Monday, April 27, 2015

Simpang Siur Debat Moralitas

salah satu masalah dalam debat hukuman mati (dan isu-isu moral lainnya seperti restriksi alkohol, lokalisasi prostitusi) karena mereka berdebat dengan menggunakan kriteria moral yang berbeda.

Setidaknya secara garis besar dapat dibedakan tiga pendekatan dalam menilai moralitas suatu tindakan

1. berdasarkan kriteria moralitas agama (wahyu)

2. berdasarkan akal pikir (reason). ini dibagi dua aliran besar lagi

  • filsafat etik deotonlogi, the ends don't justify the means. penentang hukuman mati yang mengikuti alur ini misalnya hukuman mati itu merendahkan human dignity (HAM). sebaliknya pendukung hukuman mati berpendapat bahwa. dengan melakukan kejahatan berat. orang itu sudah melepaskan human dignitynya sendiri. di filsafat ini, "ends" gak diperhitungkan
  • filsafat etik utilitarianism/consequentialism. the ends justify the means. pedukung hukuman mati akan berpendapat lebih baik satu orang mati, daripada 1000 orang menjadi korban. Penentang hukuman mati akan berargumen hukuman mati tidak menimbulkan efek jera dsb

***

status ini tidak untuk mulai perdebatan, tapi cuma mau menunjukkan bahwa

  • kalau dalam perdebatan satu pihak menggunakan kriteria moral yang satu (eg. deontologi), pihak lain menggunakan kriteria moral yang lain (eg. utilitarianisme). debatnya gak bakal ketemu. sebaiknya deontologi dilawan deontologi, utilitarianism dilawan utilitarianism
  • kriteria berdasar moralitas wahyu lebih susah lagi ketemu. melakukan perdebatan dilatari motivasi agama sih sah-sah saja (dalam mengambil posisi). tapi dalam debat riil sebaiknya berdasar 2 pendekatan besar filsafat etik di atas. mengapa? karena "reason" itu common denominator yang dimiliki semua pihak

Monday, April 13, 2015

The Year of Living Dangerously

Saking jengkelnya sama orang-orang yang memitoskan Soekarno, terpaksa saya bongkar-bongkar arsip laporan ekonomi tentang Indonesia tahun-tahun jadul. Untung saya punya laporan Survey of Recent Development dari bulletin of Indonesian Economic Studies. ANU sejak 1960an. Itu laporan yang ditulis "saksi mata" Heinz Arndt dan pak Pang Lay Kim pada tahun yg sama ketika kejadian berlangsung.

Mereka yang mempropagandakan Soekarno tau bahwa gak banyak yang belajar sejarah ekonomi Indonesia tahun 1960an. Itu kan sudah setengah abad silam. Bahkan waktu itu saya masih balita (terpaksa deh bongkar umur huh :( )

Siapa sih yang benar-benar paham beratnya beban yang ditanggung rakyat kecil di tahun 1960an? GDP cuma tumbuh 2% per tahun. Harga-harga naik 600% per tahun. Seandainya inflasi 600% itu terjadi saat ini, harga beras sekarang Rp 10,000/kg, bulan depan Rp. 11600, tahun depan sudah Rp. 60,000/kg. Megawati tentu tidak merasakan itu wong tinggal di Istana, sekolah di Menteng.


Bagaimana dengan utang? ... ya betul ... utang. Coba baca pernyataan Sri Sultan yang menanggung beban berat melakukan negosiasi utang luar negeri Indonesia waktu itu



Soekarno mewariskan utang pokok sebesar $2.4 bilyun, kecil banget untuk ukuran jaman ini, tapi PDB Indonesia tahun 1966 cuma $1.4 bilyun. Berarti utang Indonesia saat itu hampir 2x lipat PDB. Sebagian besar utang itu dari Uni Soviet (60%) dan tidak dipakai untuk menyejahterakan rakyat tapi dipakai untuk belanja militer dan proyek mercusuar

Waktu itu Indonesia harus bayar cicilan utang dan bunga $530 juta/tahun, sementara dapet dolar dari ekspor cuma $430 juta/tahun. Buat bayar cicilan dan bunga utang aja gak mampu. Indonesia praktis bangkrut waktu itu.

Siapa yang mau kembali ke jaman itu?