Thursday, April 10, 2014

Yang Penting Voting Power

Any coalition has its troubles, as every married man knows. (Arthur H. Sulzberger)

Apa arti suatu partai itu kuat atau lemah di parlemen? secara positif, suatu partai dikatakan kuat jika partai tersebut mampu memenangkan inisiatif dan usulan-usulannya. Suatu partai juga dinilai kuat jika partai tersebut mampu mencegah inisiatif atau usulan-usulan yang tidak sesuai dengan keinginan partai tersebut

Sering kali orang mengira bahwa kekuatan suatu partai itu proporsional dengan jumlah kursi yang dimiliki oleh partai tersebut. Pendapat seperti itu mengabaikan fakta adanya "pemilih berayun" (swing voters) pada saat pemungutan suara. Pemilih berayun ini walaupun kecil sering kali mampu menentukan hasil akhir pemilihan di parlemen.

Lantas bagaimana mengukur kekuatan suatu partai mempengaruhi proses politik? apakah perolehan jumlah kursi di parlemen selalu mencerminkan kekuatan partai? Katakan hanya ada tiga partai Biru (B), Kuning (K), dan Merah (M) dengan jumlah kursi masing- masing: B-280 kursi (50%), K-252 kursi (45%), dan M-28 kursi (5%). Apakah itu berarti partai Merah tidak punya kekuatan menghadapi partai Biru dan Kuning? Tentu saja tidak sesederhana itu. Lantas bagaimana menghitung kekuatan masing-masing partai dalam mempengaruhi proses politik?

Ada beberapa cara untuk menghitung voting power. Salah satunya diberikan oleh Banzhaf yang metodologi perhitungannya diberikan di akhir tulisan ini. Namun, beruntung kita tidak perlu melakukan kalkulasi sendiri dengan metodologi yang cukup rumit dan memakan waktu tersebut. Kita bisa meminta bantuan internet untuk menghitung voting power dari masing-masing partai seperti diberikan di laman ini http://www.warwick.ac.uk/~ecaae/ipdirect.html]

Mari kita masukkan data tiga partai tersebut di atas ke dalam laman tersebut seperti ini:

Figure 1

Hasilnya sama seperti kalkulasi manual yang diberikan di akhir tulisan ini.

Figure 2

Perhatikan perbedaan antara index Banzhaf dan persen kursi yang dimiliki masing-masing partai. Yang paling mencolok, partai Merah tidak selemah seperti yang tercermin dalam jumlah kursinya yang hanya 5%. Sebaliknya, walaupun Kuning menguasai 45% suara, namun voting power-nya sama dengan Merah, hanya 20%.

Penerapan di Indonesia

Tabel berikut memberikan komposisi jumlah suara fraksi-fraksi di DPR

Tabel 1

Kita masukkan data tersebut ke laman kalkulasi online yang sudah diberikan tautannya di atas, dan biarkan laman tersebut menghitung voting power untuk masing-masing partai. Hasilnya adalah sebagai berikut:

Tabel 2

Hasilnya kurang menarik. Kebetulan hasil perhitungan untuk Indonesia menunjukkan bahwa kekuatan mempengaruhi hasil voting tidak berbeda jauh dari persentase kursinya. Beda dengan di Inggris misalnya, pernah Partai Liberal Demokrat yang hanya menguasai 8% kursi, namun memiliki voting power 23%.

Pertanyaan berikutnya bagaimana jika Setgab Koalisi yang dibentuk beberapa tahun lalu benar-benar satu suara untuk setiap isyu. Tanpa perlu menghitung Voting Power Index, kita tahu bahwa koalisi enam partai tersebut sudah menguasai 423 suara. Sudah lebih dari cukup untuk memenangkan setiap usulan koalisi atau menolak usulan fraksi di luar koalisi. Voting power indexnya pasti sama dengan satu

Namun realitas politik bicara lain, kita tahu bahwa Golkar  dan PKS tidak sepenuhnya sejalan dengan koalisi dalam pemungutan suara BBM kemarin dan sebagai akibatnya PKS dikeluarkan dari koalisi? Jika Golkar bisa dijamin selalau sejalan dengan koalisi, maka voting power koalisi tetap sebesar satu karena jumlah suara 5 partai koalisi (366)  sudah jauh di atas aturan mayoritas (281)

Sekarang katakan empat partai dalam koalisi, PD, PPP, PAN dan PKB selalu loyal terhadap koalis, namun sebagaian anggota Golkar ada yang loayal ada yang angin-anginan. Kita tahu bahwa jumlah empat partai dalam koalisi, PD, PPP, PAN dan PKB yang selalu setia terhadap pemerintah adalah 260. Jadi untuk bisa selalu mayoritas diperlukan 21 anggota Golkar yang loyal.

Jika tidak bisa mendapatkan 21 anggota yang loyal, pertanyaannya berapa jumlah anggota Golkar loyal yang diperlukan agar koalisi bisa efektif? Hasil hitungan Banzhaf Index menunjukkan bahwa voting power tidak berubah dengan memiliki 5, 10, atau 15 anggota Golkar yang loyal, semuanya memberi voting power index sebesar 0.75. Artinya, cukup dengan hanya memiliki 5 anggota Golkar yang loyal, koalisi akan mempunyai probabilitas tiga kali menang dan satu kali kalah untuk setiap empat kali pemilihan. Bagaimana mendapatkan 5 anggota Golkar yang selalu loyal kepada koalisi? itu pertanyaan yang bisa dijawab oleh pengamat dan/atau pemain politik

***

Metodologi menghitung voting power:

Katakan suatu parlemen di negar antah berantah memiliki komposisi partai seerti berikut ini
  • Partai Biru (B)-280 kursi (50%)
  • Partai Kuning (K)-252 kursi (45%)
  • Partai Merah (M)-28 kursi (5%)
  1. Perlu dijabarkan terlebih dahulu syarat kemenangan dalam pemungutan suara.  Katakan aturan yang dipakai adalah aturan mayoritas sederhana 50%+1. Maka diperlukan 281 suara untuk memenangkan pemungutan suara
  2. Catat satu demi satu kemungkinan koalisi yang bisa menghasilkan suara mayoritas (winning coalition). Dalam contoh di atas, kemungkinan koalisinya adalah: BK - 532 suara, BM - 308 suara, BMK - 560 suara. Koalisi KM tidak perlu disertakan, karena bukan winning coalition, karena hanya mengasilkan 280 suara,
  3. Ketiga, untuk masing2 koalisi, tentukan partai yang kritikal menentukan hasil koalisi tersebut. (i) dalam koalisi BK, B dan K keduanya kritikal karena jika salah satu membelot, maka tidak tercapai mayoritas. Untuk memudahkan perhitungan, partai kritikal ditulis dalam huruf tebal (B,K). (ii) dalam koalisi BM, B dan M keduanya kritikal karena jika salah satu membelot, maka tidak tercapai mayoritas. (B,M) (iii)dalam koalisi BMK, hanya B yang kritikal, karena jika M atau K membelot, tetap tercapai mayoritas. (B,M,K)
  4. Jumlah seluruh kemungkinan kritikal (yang berhuruf tebal). B tiga kali kritikal, K satu kali kritikal, M satu kali kritikal. Total ada 5 kemungkinan kritikal. (ini akan jadi pembilang dalam Banzhaf power index)
  5. Hitung Banzhaf power index untuk masing partai: Biru: tiga kali kritikal, maka power indexnya = 3/5 (60%). Kuning: sekali kritikal, maka power indexnya = 1/5 (20%). Merah: sekali kritikal, maka power indexnya = 1/5 (20%)

Friday, April 4, 2014

Catatan singkat mengapa saya tidak golput

Sebagai orang yang mengaku rasional, tentu saya harus mempunyai alasan rasional mengapa saya memilih. Secara sepintas, intuisi saya mengatakan: apatah arti suara saya dibanding suara ratusan juta pemilih? Sungguh gede rasa jika saya mengira pilihan saya menentukan hasil akhir pemilu. Pilihan saya bagaikan setetes air di danau Sunter. Lantas untuk apa saya datang ke bilik suara. Tapi intuisi kadang menyesatkan

Kalkulasi Individu

Pertanyaan pertama yang harus saya jawab: berapa persisnya probabilitas suara saya menentukan hasil pemilu? Jawaban kualitatitifnya adalah sangat sangat kecil. Mengapa demikian? karena satu suara saya hanya menentukan jika hasil pemilu seri (tie election). Jadi probabilitas suara saya menentukan sama dengan probabilitas terjadinya hasil pemilu seri.  Sebagai ilustrasi, probabilitas satu suara menentukan untuk 1 juta pemilih  dengan 2 kandidat, itu hanya 0,00000782. Sangat gede rasa bukan kalau mengira suara saya bisa menentukan hasil pemilu?

Langkah kedua setelah menentukan probabilitas suara saya menentukan adalah menghitung berapa expected benefit dari pilihan saya? Seandainya saya pemilih sekaligus caleg, maka manfaat yang akan saya peroleh jika saya terpilih adalah gaji anggota legislatif sekitar Rp. 50 juta. Dalam 5 tahun berarti keuntungan yang saya peroleh adalah Rp. 50 juta x 12 x 5 = Rp. 3 milyar. Tapi itu baru angan-angan, dalam arti nilai sebesar itu hanya akan saya terima jika saya terpilih sebagai caleg; kalau saya tidak terpilih, keuntungan moneter dari pilihan saya nol.

Bagaimana mengkuantifisir suatu manfaat yang tak pasti? tentunya manfaat tersebut harus ditimbang dengan probabilitasnya. Jadi expected benefit pilihan saya sama dengan probabilitas pilihan saya mentukan hasil pemilu dikalikan manfaat yang saya peroleh jika saya terpilih =  0.00000782 x Rp. 3.000.000.000 = sekitar Rp. 23.000. Masih tetap kecil bukan? padahal itu hitung-hitungan hipotetikal untuk caleg yang akan mendapat gaji Rp. 50 juta/bulan dengan jumlah pemilih hanya 1 juta orang. Untuk non- caleg dengan jumlah pemilih ratusan juta, expected benefit-nya jauh lebih kecil lagi, mungkin hanya senilai koin recehan.

Manfaat Sosial

Namun mengapa hanya menghitung keuntungan individu? Saya juga puas jika kesejahteraan orang lain meningkat berkat pilihan saya. Karena saya perduli dengan manfaat pilihan saya bagi orang lain, manfaat bagi orang lain itu harus masuk juga dalam kalkulasi biaya-manfaat saya. Kalau dinyatakan dalam rumus:

Manfaat saya memilih = p*(Mp + a*N*Ms)

p  = probabilitas pilihan saya menentukan
Mp = manfaat pribadi
Ms = manfaat sosial
a = parameter kepedulian sosial yang nilainya antara 0 dan 1. 0 jika saya sangat egois, 1 jika saya sangat perduli orang lain
N =  populasi

Bagaimana hitungan kongkritnya?

Penduduk Indonesia sekarang sekitar 250 juta orang, jadi N = 250 juta. Katakan jika kandidat idola saya terpilih sebagai presiden saya perkirakan pendapatan masyarakat akan meningkat lebih banyak 1 juta rupiah per kepala dibanding kalau kandidat lain yang terpilih, jadi Mp=Ms= 1 juta. Saya senang jika bukan hanya saya yang menikmati hasil pilihan saya; katakan parameter kepedulian sosial saya  0.2.  Terakhir, saya hitung probabilitas suara saya menentukan hasil pemilu. Saya perkirakan jumlah pemilih sekitar 100 juta. Probabilitas suara saya menentukan untuk jumlah pemilih sebesar 100 juta adalah 0.0000000782. 

Jika angka-angka itu dimasukkan dalam rumus maka:

Manfaat =   0.0000000782*(Rp.1 juta + 0.2*250 juta*Rp. 1 juta)
              = Rp. 3,910,000  

Manfaat itu jauh di atas biaya yang harus saya keluarkan untuk datang ke bilik suara. Datang ke bilik suara itu bermanfaat, juga menyenangkan. Setidak menurut hitung-hitungan saya pribadi. 

Thursday, April 3, 2014

Janji yang (hampir) pasti terpenuhi

Salah satu trik yang paling mudah dalam kampanye itu memberikan janji yang kelihatannya hebat namun sebetulnya mudah dipenuhi, atau pasti terpenuhi. Mari kita ambil  janji kampanye Hanura/Hari Tanoe sebagai ilustrasi:

Ketua Badan Pemenangan Pemilu yang juga bakal calon wakil presiden Hanura, Hary Tanoesoedibjo, mengatakan, partainya ingin masyarakat Indonesia mendapatkan gaji Rp 12 juta per bulan. Hal itu disampaikan Hary Tanoe saat kampanye partainya, di Lapangan Blok S, Jakarta Selatan, Jumat (28/3/2014).

"Dalam waktu tidak lebih dari sepuluh tahun, targetnya penghasilan Rp 12 juta," kata Hary.

Menurut Hary, penghasilan masyarakat Indonesia saat ini masih kalah jika dibandingkan Malaysia dan China. Ia menyebutkan, penghasilan rata-rata orang Indonesia sebesar Rp 3,4 juta per bulan. (http://bit.ly/1fOXwd7)

Tidak istimewa

Janji tersebut terdengar fantastis, namun benarkah demikian? Salah satu cara untuk menilai apakah janji tersebut istimewa adalah dengan membandingkan dengan kinerja pemerintahan yang ingin digantikannya.

Hary Tanoe mengatakan penghasilan rata-rata orang Indonesia saat ini Rp. 3,4 juta per bulan. Saya tidak tau persisnya angka tersebut berasal dari mana. Dugaan saya angka tersebut adalah PDB atas harga berlaku per kepala per bulan. PDB per kepala tahun 2013 adalah Rp. 37.538.518 (http://bit.ly/1ijPFWY). Jadi, PDB/kapita/bulan = Rp. 37.538.518/12 = Rp. 3.128.210. Tidak beda jauh dengan angka yang diberikan oleh Hary Tanoe.

Pertanyaan berikutnya berapa pertumbuhan PDB atas harga berlaku per kepala per bulan selama 10 tahun agar target Rp, 12 juta tercapai? jawabannya 13.4%. Sekarang kita bandingkan dengan capain pemerintahan SBY. Pemerintahan SBY mulai tahun 2004 dengan PDB per kapita per bulan Rp. 865 ribu dan mencapai Rp. 3.4 juta di tahun 2014 (seperti perkiraan Hary Tanoe). Berapa pertumbuhannya per tahun? jawabannya 14.7% lebih tinggi dari target Hary Tanoe.

                 

Mudah dicapai

Hary Tanoe memberikan target pendapatan NOMINAL, padahal yang penting daya beli (pendapatan RIIL). Pendapatan sebesar Rp. 12 juta/bulan di tahun 2024 tidak ada artinya jika inflasi selama 2014-2024 melonjak tidak terkendali. Untuk melihat betapa mudahnya mencapai target itu, mari kita masukkan angka2 dalam rumus berikut:

Pertumbuhan PDB/kapita NOMINAL = Pertumbuhan PDB/kapita RIIL + Inflasi - Pertumbuhan penduduk

Untuk mencapai PDB/kapita nominal Rp, 12 juta di tahun 2024 perlu pertumbuhan 13.4% pertahun. Target itu itu dengan mudah dicapai dengan membiarkan inflasi melonjak. Misalnya, dengan asumsi pertumbuhan penduduk 1.2%, target tersebut bisa dicapai dengan pertumbuhan ekonomi yang cuma 1% /tahun, dan inflasi 13.6%. Kesejahteraan RIIL hanya meningkat 1% per tahun, yang penting janji kampanye terpenuhi.

Jadi politisi itu mudah. By the way optimis sekali bakal memerintah 10 tahun untuk mengawal targetnya :D

Oh ya ... janji tiap desa bakal mendapat Rp 1 milyar tahun depan juga pasti tercapai karena ada di UU Desa

Friday, March 21, 2014

Kalkulus Demokrasi

Kalau 100% pemilih itu ignorant apakah demokrasi bisa berfungsi? kalau 100% pemilih ignorant maka pilihan mereka akan random, seperti menghitung kancing. Siapa yang akan menang dalam pemilu ya random saja. Memang benar kalau 100% pemilih buta sejarah, buta politik demokrasi tidak memberi harapan. pelanggar HAM bisa naik, koruptor bisa naik

Untungnya demokrasi tidak memerlukan 100% pemilih yang melek politik, melek sejarah. Kalau 1% saja yang well informed dan mampu memilih dengan bijak bagaimana? Masing2 kandidat akan mengabaikkan 99% pemilih random dan fokus memperebutkan 1% yang bijak. Akibatnya demokrasi hanya ditentukan oleh 1% yang bijak itu. Satu persen yang bijak itu akan mencari informasi sebanyak2nya tentang rekam jejak kandidat, menyimak baik-baik debat politik dan memutuskan pilihannya. Jadi demokrasi yang hanya ditentukan oleh 1% yang bijak ini mirip ideal Plato, government by the wise.

***
Itu teori indah-nya, tapi asumsi bahwa pemilih yang buta politik memilih secara random tidak selalu benar. Masih mending kalau 99% pemilih itu pemilih yang memilih dengan menghitung kancing. Akan jadi masalah kalau terdapat bias secara umum, misalnya bias rasis, bias nasionalisme sempit/bias anti asing, dan masih banyak bias lainnya. Bisa saja terjadi, misalnya, 51% pemilih bias rasis, 48% tidak rasis, dan 1% bijak yang bisa menilai apakah isyu itu esensinya rasisme atau bukan. Tetap saja yang bias rasis yang menang. 1% yang bijak tidak bisa "mengendalikan" hasil demokrasi.

Jadi: (1) dalam demokrasi tidak mutlak bahwa mayoritas harus well informed, demokrasi cuma perlu minoritas bijak. Argumen bahwa suatu negara tidak siap melakukan demokrasi karena mayoritas pemilihnya tidak berpendidikan, tidak sepenuhnya tepat  (2) Pendidikan publik tetap penting untuk menghindari bias2 umum yang merusak (3) Walaupun ada bias2 ini, namun bias inipun tidak statis, Indonesia misalnya yang dulu mayoritasnya tidak terlalu perduli pada HAM, belajar dari kesalahan pilihan sebelumya menjadi semakin perduli pada isyu HAM.

Tetap demokrasi sistim terbaik

Monday, January 6, 2014

Bukan cuma Indonesia yang menaikan harga LPG

Ternyata bukan cuma Indonesia,  India, Philippines dan Thailand juga menaikkan harga LPGnya. Ini bisa dimengerti mengingat harga gas Propane dan Butane dunia memang cenderung meningkat sejak 2009, dan naik tajam sejak Oktober 2013

Sumber: CP Aramco

Perbandingan harga LPG di negara-negara tetangga, berapa persen dan kapan harga itu naik akhir-akhir ini bisa dilihat di tabel berikut. Seperti biasa harga energi Indonesia termurah 



Malaysia memberi subsidi sebesar R 27.79 untuk LPG 14 kg ( http://bit.ly/1bL4tZP ). Berarti R 23.82 untuk 12 kg, dengan nilai tukar Rp. 3,707 per ringgit maka besarnya subsidi yang diberikan pemerintah Malaysia adalah Rp. 88,300. Jadi harga keekonomian LPG 12 kg di Malaysia adalah Rp. 172,824 

Sumber: 
India http://bit.ly/JvmkgU
Philippines http://bit.ly/19MNzzM

Friday, January 3, 2014

Gimana sih itung-itungan harga LPG?

Bagaimana hitungan harga LPG? sejak dulu acuan Pertamina adalah harga kontrak LPG Aramco yang telah mencapai US$ 1172.5 per metric ton bulan lalu.

Rumus untuk menghitung harga keekonomian LPG adalah 

((1+bm)*CpA+fc)*Er/1000 + md

bm = bea masuk impor yang besarnya 1.88%
CpA = Harga kontrak Aramco yang menurut pertamina US$ 873/MT (http://bit.ly/1fZNur0 )
fc = biaya pengapalan yang besarnya US$ 68.64
Er = nilai tukar US$ sekitar Rp. 12,000/$
md = margin distribusi sekitar Rp. 1750/kg

kalau rumus itu dimasukkan maka harga keekonomian LPG per kg adalah Rp. 13,247/kg untuk 12 kg sekitar Rp. 158,000

Pertanyaannya tetap sama seperti pertanyaan untuk BBM, apakah patokannya harga keekonomian (berdasar harga internasional CP Aramco) atau biaya produksi Pertamina (HPP)?

Ekonom yang konsisten dengan konsep biaya opportunitas cenderung memakai referensi harga internasional walaupun tidak ada sekilogrampun LPG yang diimpor

Sebaliknya Kurtubi dan KKG berpendapat, patokan yang tepat adalah HPP Pertamina, tidak perduli harga internasional sudah melonjak tinggi. Dalam kasus LPG Kurtubi berpendapat hanya 20% LPG yg diimpor, jadi lebih tepat HPP pertamina yang jadi patokan ( http://bit.ly/1ev855n )

... dan debat ini tidak pernah selesai, baik untuk BBM maupun LPG