Dalam tulisan ini, saya membahas kebijakan pendidikan nasional,
khususnya untuk Pendidikan Tinggi. Untuk setiap kebijakan kita perlu
bertanya apa tujuan dari kebijakan tersebut, memikirkan berbagai
alternatif, dan akhirnya memilih alternatif paling optimal untuk
mencapai tujuan tersebut. Di sini saya memusatkan analisis saya pada dua
tujuan pendidikan tinggi (a) untuk meningkatkan modal insani dengan
cara paling efiesien (b) mengurangi kesenjangan pendapatan.
Tujuan
mulia ini mudah diucapkan, namun tentu saja tidak mudah untuk dicapai.
Pertama pendidikan tinggi yang bermutu itu mahal, sementara dana yg
tersedia terbatas dan diperlukan juga untuk tujuan tujuan mulia lainnya
seperti meningkatkan kesehatan penduduk. Jadi pertanyaan pertama yg
harus dijawab adalah bagaimana membiayai pendidikan tinggi yang mahal
tersebut. Kedua, masalah klasik adanya kemungkinan trade-off jika tujuan
yang ingin dicapai lebih dari satu. Terkait dengan ini, pertanyaan yang
harus dijawab adalah model pembiayaan seperti apa yang bisa mencapai
dua tujuan mulia tersebut sekaligus?
Modal pembiayaan
paling umum untuk pendidikan tinggi adalah melalui sistim perpajakan.
Dalam sistim ini mereka yang memutuskan melanjutkan ke pendidikan yang
lebih tinggi mendapat pedidikan murah karena disubsidi, atau bahkan
gratis. Semua pembayar pajak membiayai pendidikan sebagian kecil
penduduk yang melanjutkan ke perguruan tinggi.
Di sini
kita langsung dihadapkan pada pertanyaan tentang kemampuan sistim ini
mencapai tujuan kedua - mengurangi kesenjangan. Berbeda dengan
pendidikan dasar dan menengah yang sifatnya wajib. Melanjutkan ke
pendidikan tinggi adalah pilihan. Untuk pendidikan dasar dan menengah,
semua warga menanggung pendidikan itu melalui pajak (atau biaya
oportunitas karena pengeluaran untuk pendidikan tinggi tersebut tidak
bisa digelar untuk tujuan lain). Namun karena sifatnya universal, semua
rumah tangga menikmati apa yang mereka bayarkan. Untuk pendidikan
tinggi, hanya sebagian kecil yang menikmati, namun semua menanggung
biayanya.
Bahkan sitim ini cenderung menciptakan reverse redistribution.
Mereka yang memilih melanjutkan ke PT tidak bekerja selama beberapa
tahun dan setelahnya menjadi tenaga kerja terdidik dengan pendapatan
yang jauh lebih tinggi dibanding mereka yang hanya menyelesaikan
pendidikan dasar menengah. Sementara yang membayar pendidikan itu
termasuk, bahkan mungkin sebagian terbesar, mereka yang memutuskan tidak
melanjutkan ke perguruan tinggi. Jika ditotal pendapat seumur hidup
mereka yang mampu menjadi tenaga kerja terdidik tentu lebih tinggi
dibanding pendapatan seumur hidup mereka yang membiayai pendidikan
tersebut. Jadi ex-post, sistim ini tidak mampu mencapai tujuan kedua,
bahkan cenderung menciptakan (ex-post) reverse redistribution
Hasil
penelitian empiris juga menunjukkan bahwa Perguruan Tinggi memberikan
manfaat sosial yg jauh lebih kecil dibanding manfaat pribadinya yaitu
upah tinggi yang dinikmati setelah lulus kuliah dan bekerja. Sebaliknya
pendidikan dasar dan menengah memberikan manfaat sosial yang jauh lebih
besar dari manfaat pribadinya. Karena alasan ini, wajar jika mereka
yang melanjutkan ke perguruan tinggi membiayai pendidikannya sendiri.
Bagaimana
mereka yang memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi
ini membiayai pendidikan mereka? salah satu alternatif adalah berutang,
toh nanti akan bisa membayar kembali utang tersebut setelah lulus
kuliah. Alternatif ini bisa mencapai tujuan pertama, secara efisien
meningkatkan modal insani. Alternatif ini juga tidak menimbulkan
redistribusi sungsang, tetapi lagi-lagi, alternatif ini tidak akan
mencapai tujuan kedua, tujuan pemerataan.
Pertama, akses
ke lembaga perbankan tidak sempurna, kemungkinan besar hanya yang kaya
yang akan mampu menikmati akses ini. Kedua, berbeda dengan investasi di
modal fisikal, ada kolateral yang bisa dijaminkan yaitu modal fisik itu
sendiri. Sebaliknya modal insani sifatnya nirwujud, jadi tidak ada
kolateral yang se"cair" penanaman modal fisikal, kecuali kita
mengijinkan perbudakan. Karena alasan tidak adanya kolateral ini, pihak
perbankan enggan untuk memberi pinjaman seperti ini. Ketiga, ada
perbedaan antara orang miskin dan orang kaya dalam resiko yang dihadapi
ketika berutang. Jika setelah lulus, yang miskin gagal mendapat
pekerjaan dengan upah yang memadai, mereka akan terjerat utang yang
makin memiskinkan. Sebaliknya orang kaya sedikit banyak memiliki
"asuransi" terhadap resiko tersebut. Secara ex-ante, sistim ini sudah
tidak adil. Singkat kata menyerahkan sepenuhnya pembiayaan pendidikan
melalui mekanisme pasar tidak akan mencapai tujuan kebijakan pendidikan
tinggi yang disebut di awal tulisan.
Alternatif ketiga
pemerintah yang memberi utang ke mereka yang melanjutkan ke perguruan
tinggi. Setelah lulus, mereka membayar kembali utang tersebut dengan
bunga yang mungkin disubsidi. Alternatif ini memecahkan masalah akses,
karena yang memutuskan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi otomatis
mendapat akses yang mudah dan sama. Alternatif ini juga tidak
menimbulkan efek redistribusi sungsang, karena pada dasarnya mereka
membiayai pendidikannya sendiri. Namun kembali sistim ini tidak
memecahkan perbedaan resiko yang dihadapi orang kaya vs orang miskin.
Insentif untuk berutang ke pemerintah lebih besar bagi yang kaya
dibanding yang miskin karena perbedaan sumber daya untuk mengatasi
resiko gagal bayar utang tersebut.
Alternatif terakhir
pajak sarjana. Di sini, pemerintah sepenuhnya menanggung biaya
pendidikan semua mahasiswa. Setelah lulus, pemerintah memungut pajak
ekstra setelah mahasiswa tersebut bekerja dan mencapai tingkat
pendapatan tertentu. Ditambah lagi, sarjana yang gagal mencapai tingkat
pendapatan tertentu tidak dikenakan pajak ekstra ini.
Sistim
ini walau tidak sepenuhnya sempurna, namun memenuhi tujuan yang
disampaikan di awal tulisan. Pertama, sistim ini efisien karena setiap
orang memutuskan dan menghitung sendiri untung rugi keputusan menanam
modal insani bagi dirinya sendiri. Kedua, sistim ini tidak menimbulkan
redistribusi sungsang seperti di sistim tradisonal pembiayaan melalalui
pajak umum. Di sini mahasiswa pada dasarnya membiayai dirinya sendiri,
pemerintah mengatasi masalah antar waktu dengan menalangi biaya
pendidikan. Ketiga, sistim ini membuka akses yang sama bagi semua baik
yang kaya maupun yang miskin. Keempat, karena resiko kegagalan mencapai
pendapatan yang memadai setelah lulus ditanggung oleh pemerintah (atau
oleh sarjana yang sukses) maka sistim ini memberi insentif yang sama
bagi yang miskin maupun yang kaya. Tidak ada hambatan ex-ante di sini
sistem ketiga yg anda tawarkan sepertinya sama dengan sistem Loan yg ada di Negara Paman SAM.
ReplyDeletenegara memberi utang untuk mahasiswa yg ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi , dan kita membayarnya setelah bekerja dengan dipotong gaji.
saya lupa sistem apa, tp pernah baca :)
"Perguruan Tinggi memberikan manfaat sosial yg jauh lebih kecil dibanding manfaat pribadinya yaitu upah tinggi yang dinikmati setelah lulus kuliah dan bekerja. Sebaliknya pendidikan dasar dan menengah memberikan manfaat sosial yang jauh lebih besar dari manfaat pribadinya"
ReplyDeleteApa yang dimaksud dengan manfaat sosial dalam perbandingan ini? Sebagai instansi pendidikan misalnya, bukankah keduanya sama-sama memberi manfaat sosial misalnya penyediaan lapangan kerja?
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete