Tuesday, July 3, 2012

Membangun Modal Insani, Mengatasi Kesenjangan

Dalam tulisan ini, saya membahas kebijakan pendidikan nasional, khususnya untuk Pendidikan Tinggi.  Untuk setiap kebijakan kita perlu bertanya apa tujuan dari kebijakan tersebut, memikirkan berbagai alternatif, dan akhirnya memilih alternatif paling optimal untuk mencapai tujuan tersebut. Di sini saya memusatkan analisis saya pada dua tujuan pendidikan tinggi (a) untuk meningkatkan modal insani dengan cara paling efiesien (b) mengurangi kesenjangan pendapatan.

Tujuan mulia ini mudah diucapkan, namun tentu saja tidak mudah untuk dicapai. Pertama pendidikan tinggi yang bermutu itu mahal, sementara dana yg tersedia terbatas dan diperlukan juga untuk tujuan tujuan mulia lainnya seperti meningkatkan kesehatan penduduk. Jadi pertanyaan pertama yg harus dijawab adalah bagaimana membiayai pendidikan tinggi yang mahal tersebut. Kedua, masalah klasik adanya kemungkinan trade-off jika tujuan yang ingin dicapai lebih dari satu. Terkait dengan ini, pertanyaan yang harus dijawab adalah model pembiayaan seperti apa yang bisa mencapai dua tujuan mulia tersebut sekaligus?

Modal pembiayaan paling umum untuk pendidikan tinggi adalah melalui sistim perpajakan. Dalam sistim ini mereka yang memutuskan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi mendapat pedidikan murah karena disubsidi, atau bahkan gratis. Semua pembayar pajak membiayai pendidikan sebagian kecil penduduk yang melanjutkan ke perguruan tinggi.

Di sini kita langsung dihadapkan pada pertanyaan tentang kemampuan sistim ini mencapai tujuan kedua - mengurangi kesenjangan. Berbeda dengan pendidikan dasar dan menengah yang sifatnya wajib. Melanjutkan ke pendidikan tinggi adalah pilihan. Untuk pendidikan dasar dan menengah, semua warga menanggung pendidikan itu melalui pajak (atau biaya oportunitas karena pengeluaran untuk pendidikan tinggi tersebut tidak bisa digelar untuk tujuan lain). Namun karena sifatnya universal, semua rumah tangga menikmati apa yang mereka bayarkan. Untuk pendidikan tinggi, hanya sebagian kecil yang menikmati, namun semua menanggung biayanya.

Bahkan sitim ini cenderung menciptakan reverse redistribution. Mereka yang memilih melanjutkan ke PT tidak bekerja selama beberapa tahun dan setelahnya menjadi tenaga kerja terdidik dengan pendapatan yang jauh lebih tinggi dibanding mereka yang hanya menyelesaikan pendidikan dasar menengah. Sementara yang membayar pendidikan itu termasuk, bahkan mungkin sebagian terbesar, mereka yang memutuskan tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Jika ditotal pendapat seumur hidup mereka yang mampu menjadi tenaga kerja terdidik tentu lebih tinggi dibanding pendapatan seumur hidup mereka yang membiayai pendidikan tersebut. Jadi ex-post, sistim ini tidak mampu mencapai tujuan kedua, bahkan cenderung menciptakan (ex-post) reverse redistribution

Hasil penelitian empiris juga menunjukkan bahwa Perguruan Tinggi memberikan manfaat sosial yg jauh lebih kecil dibanding manfaat pribadinya yaitu upah tinggi yang dinikmati setelah lulus kuliah dan bekerja. Sebaliknya pendidikan dasar dan menengah memberikan manfaat sosial yang jauh lebih besar dari manfaat pribadinya. Karena alasan ini, wajar jika mereka yang  melanjutkan ke perguruan tinggi membiayai pendidikannya sendiri.

Bagaimana mereka yang memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi ini membiayai pendidikan mereka? salah satu alternatif adalah berutang, toh nanti akan bisa membayar kembali utang tersebut setelah lulus kuliah. Alternatif ini bisa mencapai tujuan pertama, secara efisien meningkatkan modal insani. Alternatif ini juga tidak menimbulkan redistribusi sungsang, tetapi lagi-lagi, alternatif ini tidak akan mencapai tujuan kedua, tujuan pemerataan.

Pertama, akses ke lembaga perbankan tidak sempurna, kemungkinan besar hanya yang kaya yang akan mampu menikmati akses ini. Kedua, berbeda dengan investasi di modal fisikal, ada kolateral yang bisa dijaminkan yaitu modal fisik itu sendiri. Sebaliknya modal insani sifatnya nirwujud, jadi tidak ada kolateral yang se"cair" penanaman modal fisikal, kecuali kita mengijinkan perbudakan. Karena alasan tidak adanya kolateral ini, pihak perbankan enggan untuk memberi pinjaman seperti ini. Ketiga, ada perbedaan antara orang miskin dan orang kaya dalam resiko yang dihadapi ketika berutang. Jika setelah lulus, yang miskin gagal mendapat pekerjaan dengan upah yang memadai, mereka akan terjerat utang yang makin memiskinkan. Sebaliknya orang kaya sedikit banyak memiliki "asuransi" terhadap resiko tersebut. Secara ex-ante, sistim ini sudah tidak adil.  Singkat kata menyerahkan sepenuhnya pembiayaan pendidikan melalui mekanisme pasar tidak akan mencapai tujuan kebijakan pendidikan tinggi yang disebut di awal tulisan.

Alternatif ketiga pemerintah yang memberi utang ke mereka yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Setelah lulus, mereka membayar kembali utang tersebut dengan bunga yang mungkin disubsidi. Alternatif ini memecahkan masalah akses, karena yang memutuskan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi otomatis mendapat akses yang mudah dan sama. Alternatif ini juga tidak menimbulkan efek redistribusi sungsang, karena pada dasarnya mereka membiayai pendidikannya sendiri. Namun kembali sistim ini tidak memecahkan perbedaan resiko yang dihadapi orang kaya vs orang miskin. Insentif untuk berutang ke pemerintah lebih besar bagi yang kaya dibanding yang miskin karena perbedaan sumber daya untuk mengatasi resiko gagal bayar utang tersebut.

Alternatif terakhir pajak sarjana. Di sini, pemerintah sepenuhnya menanggung biaya pendidikan semua mahasiswa. Setelah lulus, pemerintah memungut pajak ekstra setelah mahasiswa tersebut bekerja dan mencapai tingkat pendapatan tertentu. Ditambah lagi, sarjana yang gagal mencapai tingkat pendapatan tertentu tidak dikenakan pajak ekstra ini.

Sistim ini walau tidak sepenuhnya sempurna, namun memenuhi tujuan yang disampaikan di awal tulisan. Pertama, sistim ini efisien karena setiap orang memutuskan dan menghitung sendiri untung rugi keputusan menanam modal insani bagi dirinya sendiri. Kedua, sistim ini tidak menimbulkan redistribusi sungsang seperti di sistim tradisonal pembiayaan melalalui pajak umum. Di sini mahasiswa pada dasarnya membiayai dirinya sendiri, pemerintah mengatasi masalah antar waktu dengan menalangi biaya pendidikan. Ketiga, sistim ini membuka akses yang sama bagi semua baik yang kaya maupun yang miskin. Keempat, karena resiko kegagalan mencapai pendapatan yang memadai setelah lulus ditanggung oleh pemerintah (atau oleh sarjana yang sukses) maka sistim ini memberi insentif yang sama bagi yang miskin maupun yang kaya. Tidak ada hambatan ex-ante di sini

3 comments:

  1. sistem ketiga yg anda tawarkan sepertinya sama dengan sistem Loan yg ada di Negara Paman SAM.
    negara memberi utang untuk mahasiswa yg ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi , dan kita membayarnya setelah bekerja dengan dipotong gaji.

    saya lupa sistem apa, tp pernah baca :)

    ReplyDelete
  2. "Perguruan Tinggi memberikan manfaat sosial yg jauh lebih kecil dibanding manfaat pribadinya yaitu upah tinggi yang dinikmati setelah lulus kuliah dan bekerja. Sebaliknya pendidikan dasar dan menengah memberikan manfaat sosial yang jauh lebih besar dari manfaat pribadinya"
    Apa yang dimaksud dengan manfaat sosial dalam perbandingan ini? Sebagai instansi pendidikan misalnya, bukankah keduanya sama-sama memberi manfaat sosial misalnya penyediaan lapangan kerja?

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete