Thursday, May 14, 2015

Bokep dan Pemberontakan terhadap Kotbah

Benjamin Edelman, seorang peneliti dari Harvard Business School, menujukkan fenomena menarik tentang konsumsi pornografi di Amerika Serikat. Menurut hasil studi berjudul: Red Light States: Who Buys Online Adult Entertainment? (Journal of Economic Perspective) , orang Amerika yang tinggal di daerah yang relijius (red states), mengkonsumsi lebih banyak material pornografi online daripada masyarakat Amerika yang tinggal di daerah liberal (blue states). Utah memimpin sebagai pelanggan pornografi terbesar di Amerika, dan delapan dari sepuluh pelanggan terbesar adalah red states. Indikator lain juga menunjukkan hal yang mengejutkan, tingkat perceraian, pembunuhan, kehamilan remaja, alkoholisme cenderung lebih tinggi di red states daripada di blue state.

Tetapi bahwa matahari terbit setelah ayam berkokok tidak berarti kokok ayam yang menyebabkan matahari terbit. Mungkin ada faktor lain yang menyebabkan tingginya konsumsi pornografi di red states. Setelah dikontrol variable-variable lain, tingkat konsumsi pornografi di red states tidak berbeda secara signifikan dengan konsumsi pornografi di tempat lain. Namun bukankah kita berharap tingkat konsumsi pornografi didaerah relijius secara signifikan lebih rendah dari daerah yang lebih permisif? Mengapa demikian?

***

Matthew Rabin dalam tulisannya Cognitive Dissonance and Social Change meramu analisis psikologi dan model pilihan rasional untuk menjelaskan fenomena ini. Untuk memahami penjelasan Rabin, perlu dibahas dulu konsep-konsep dasar psikologi di balik analisis Rabin: disonansi kognitif.

Disonansi kognitif adalah rasa tidak nyaman yang ditimbulkan jika sesorang memiliki dua keyakinan yang bertentangan. Contoh yang sering digunakan adalah disonansi kognitif seorang perokok. Di satu pihak dia tahu bahwa rokok merugikan kesahatan, namun di lain pihak dia menikmati rokok. Bagaimana orang mengurangi ketidaknyamanan yang disebabkan oleh disonansi kognitif tersebut. Pertama, dia akan mencari alasan bahwa merokok itu tidak terlalu berbahaya. Misalnya dia beralasan bahwa bapaknya juga perokok, namun berusia lanjut. Bisa juga dia mencari-cari alasan yang menunjukkan manfaat merokok. Misalnya, si perokok beralasan kalau tidak merokok dia tidak bisa konsentrasi. Perokok akan berusaha mencari alasan pembenaran diri untuk terus merokok. Hanya sebagian kecil yang mampu memilih satu nilai saja, merokok itu tidak baik bagi kesehatan, dan berhenti merokok.

Rabin memodelkan perilaku manusia ketika melakukan suatu tindakan sebagai berikut. Setiap tindakan yang secara sadar kita lakukan selalu membawa kenyamanan bersih, kalau tidak orang tidak akan melakukannya bukan? Demikian juga mengkonsumsi pornografi dalam contoh di atas. Hitung-hitungan kenyamananannya sebagai berikut.

Pertama, orang tersebut mendapat kepuasan dari menikmati pornografi. Kalau tidak, tidak bakal ada industri pornografi

Kedua, disonansi kognitif menyebabkan ketidaknyamanan dalam diri orang tersebut, merasa bersalah misalnya. Katakan setelah mencari pembenaran, orang tersebut merasa bahwa sebulan 4x nonton pornografi itu wajar (tingkat toleransi moral pribadi). Maka rasa bersalah akan mucul ketika dia menonton 5x sebulan dan semakin sering dia menonton pornografi, semakin besar rasa bersalahnya.

Ketiga, orang juga selalu membandingkan toleransi pribadinya dengan toleransi rata-rata masyarakat. Katakan masyarakat mentolerir nonton pornografi 2x sebulan itu wajar (tingkat toleransi moral masyarakt). Maka orang tersebut akan mendapat ketidaknyamanan tambahan, membayangkan dicibir masyarakat sebagai porno maniak. Semakin jauh toleransi moral pribadi dari tingkat toleransi masyarakat, semakin besar ketidaknyamanan yang ditimbulkan

Jadi hitung-hitungan kenyamanan bersihnya adalah sebagai berikut:

Kenyamanan bersih = kepuasan yang diperoleh dari menonton pornografi – ketidaknyamanan karena disonansi kognitif – ketidaknyamanan jika toleransi moral pribadinya di atas toleransi masyarakat.

Rabin menunjukkan dalam modelnya bahwa kampanye untuk membuat orang semakin tidak toleran terhadap suatu kegiatan (e.g. konsumsi pornografi), dalam jangka panjang justru bisa meningkatkan kegiatan tersebut.

Bagaimana itu bisa terjadi? Himbauan moral untuk semakin tidak toleran terhadap pornografi, memang akan memberi akibat langsung menurunkan konsumsi pornografi. Namun sekaligus meningkatkan ketidaknyamanan akibat disonansi kognitif. Untuk mengurangi disonansi kognitif ini, dia akan berusaha mempengaruhi masyarakat untuk lebih toleran terhadap pornografi. Semakin kuat himbauan moral, semakin tidak nyaman orang akibat disonansi kognitif, semakin besar usahanya untuk mempengaruhi orang lain untuk lebih toleran terhadap pornografi. Rabin dalam modelnya menunjukkan bahwa ekwilibrium ahirnya adalah justru semakin tolerannya masyarakat terhadap suatu tindakan dan pada gilirannya justru meningkatkan konsumsi pornografi.


***

Apa yang menarik dari bahasa model Rabin di atas?

Pertama, Rabin dengan hati-hati menghindari penilaian moral dalam analisisnya. Dia tidak mengatakan pornografi itu baik atau buruk. Dia hanya memodelkan bagaimana akibat “kotbah” yang “mengharamkan” suatu tindakan terhadap intensitas kegiatan tersebut. Jadi analisisnya adalah analisis postif, bukan analisis normatif.

Kedua, tentu saja model Rabin belum tentu model yang akurat untuk menggambarkan suatu fenomena. Mungkin ada model lain yang lebih baik. Untuk bisa menguji model Rabin, model teoritis tersebut perlu dijabarkan menjadi model empiris. Jika setelah diuji berkali-kali ternyata ramalan model tersebut mendapat konfirmasi. Maka model tersebut mendapat validasi. Baik buruknya suatu model dinilai dari kemampuannya untuk meprediksi suatu fenomena.

Ketiga, setelah model tersebut mendapat validasi yang kuat, model tersebut bisa dipakai untuk membimbing pencapaian suatu tujuan normatif. Namun apa tujuan normatif yang ingin dicapai, itu bukan lagi tugas utama ekonom positif. Analisis tentang seberapa buruknya atau seberapa baiknya suatu tindakan itu ada di ranah filsafat etika (di negara sekuler) atau moralitas keagamaan (di negara agama).


*Thanks buat Puspini yang telah berbaik hati mengirimi daku artikel Matthew Rabin, dan memberi stimulus judul tulisan

1 comment: