Saturday, May 2, 2015

Anak Pub

Masih melanjutkan kisah-kisah manusia yang berusaha untuk tidak tinggal kelas dalam "mata kuliah survival“ Kali ini saya ingin bercerita tentang Nalar. Suatu kisah typical anak pub. Apa itu anak pub? jangan ke mana-mana. Baca terus kisahnya

Nalar terlahir sebagai anak petani di suatu desa kecil di Jawa Tengah. Seperti anak-anak petani lainnya, dia juga harus membatu orang tuanya di sawah. Mungkin karena posturnya yang ringkih, dia tidak mendapat tugas mencangkul seperti kakak-kakaknya. Namun ditugasi memanen cabe. Tetapi Nalar memang berbeda sejak kecil. Ketika yang lain serius memetik cabe, dia malah memetik cabe sambil membawa radio, lypsinc lagu-lagu Aneka Ria Safari. Tentu saja ayahnya marah-marah melihat perilaku anaknya yang tidak menjanjikan itu.

Ujian kesenian di sekolah, murid yang lain tentu sudah mendapat indoktrinasi gurunya untuk mencintai budaya leluhur yang adiluhung … menari gatutkaca gandrung atau gambir anom … Nalar tampil beda. Dia membawakan koreografi tari modern karya sendiri dengan iringan lagu Jarum Neraka-nya Nicky Astria. Alhamdulilah dia mendapat nilai A.

Rupanya tingkah laku Nalar kurang berkenan di hati ayahnya. Jadilah Nalar si itik buruk rupa. Dia cuma diam, namun diam yang memberontak, mute soliloquy - nyanyi sunyi seorang bisu. Tetapi sorot dendam dimatanya tak bisa disembunyikan dan sering kali semakin membakar amarah sang ayah. Dendam di hati Nalar semakin membara ketika ayahnya memutuskan tidak membiayai kuliah Nalar selepas SMU, padahal semua kakak-kakaknya dibiayai kuliah oleh orang tuanya. Gerah dengan perlakuan timpang di rumah, dibungkuslah baju-bajunya ke dalam koper, seperti adegan Buenos Aires di film Evita:

I get out here, Jakarta
Stand back, you oughta know whatcha gonna get in me
Just a little touch of star quality

Hello, Jakarta
Get this, just look at me dressed up, somewhere to go
We'll put on a show

Jakarta, ibu kota tiri tidak terlalu antusias menyambutnya. Jadilah dia anak Pub. Bukan, bukan anak gaul yang suka nongkrong di Pub, tetapi anak Pub ..rik. Dia menjadi anggauta tak resmi SBSI di pabrik mainan anak dari kayu di Tangerang. Dia bekerja serabutan tanpa Job Description yang jelas. Tugas perdananya mencabut rumput halaman pabrik di bawah terik matahari Tangerang.

Daftar bitter sweet memories yang dilaporkan ke saya termasuk: kalau sudah bulan tua indomie di belah dua, separoh buat makan pagi separoh buat makan malam; menabung seminggu biar bisa jalan-jalan ke Jakarta dan makan burger di McDonald blok M; dicopet dompetnya ketika nonton layer tancep, di bulan tua.

Tapi politikus kecil ini punya insting cukup kuat untuk survive di ganasnya belantara Jakarta. Dia berhasil mendekati dan disayang kakek pemilik pabrik, disayang ibu-ibu tukang masak di mess pabrik sehingga mendapat jatah makanan lebih. Berkat rekomendasi kakek pemilik pabrik, naik pangkatlah dia ke bagian administrasi dan dilatih memprogram dan mengoperasikan mesin CNC.

Di saat bintang keberuntungan mulai menyinari Nalar, mendung berarak menutupinya. Pabriknya tempat Nalar bekerja bangkrut. Terdaftarlah Nalar ke deretan panjang pengangguran di Jakarta. Sementara menyandang status pengangguran, dia menumpang di rumah saudaranya.

Gerah dengan statusnya sebagai pengangguran dia kembali mencari kerja. Berkat bantuan saudaranya dia berhasil diterima bekerja di suatu pabrik di Bekasi. Posisi pegawai administrasi yang diincar masih penuh. Untuk sementara Nalar ditempatkan di pergudangan, kata halus untuk kuli: "secara fisik saya memang tidak mampu menjadi kuli" katanya. Genap sebulan, Nalar menyerah.

Namun keberuntungan masih menaungi nasibnya. Berkat bantuan sahabatnya, yang menjadi staff management di Bank dia mendapat pekerjaan di suatu bank di kawasan Senen. Namun ada masalah. Nalar buta warna, cacat yang diharamkan di dunia perbankan. Untung berkat rekomendasi sahabatnya, dia lolos seleksi. Babak baru Nalar kerja kantoran diawali.

Walau cuma lulus SMU, seperti biasanya Nalar cepat disayang oleh senior-seniornya. Mulai dari hanya membereskan file-file, dalam waktu singkat Nalar berhasil menanjak naik sampai menjadi asisten kesayangan direktur. Namun tentu saja kedekatan itu hanya informal, karena kenaikan pangkat tentu mensyaratkan tingkat pendidikan tertentu.

Ambisi selangit, pendidikan cetek tentu menghambat kiprah Nalar.  Pilihan mengerucut,  harus kuliah. Dia mendaftar di satu pendidikan D3 manajemen di suatu sekolah tinggi yang sangat tidak bermutu di bilangan Senen. "Murah dan dekat kantor" ujarnya.

Ambisi mengalahkan lelah. Pagi bekerja, malam kuliah. Pulang kuliah masih harus belajar. Dia bercerita betapa dia harus "nangis darah" belajar matematika karena dia berlatar belakang IPS. Namun sekali lagi, ketika mimpi dan ambisi masih panas memberi energi yang tak ada habisnya, Nalar kembali dihempas realita. Bank tempat dia bekerja bangkrut dilindas krisis moneter 1998. Kembali Nalar masuk ke dalam barisan panjang pengangguran.

Namun entah bagaimana, dia bisa menyelesaikan D3nya dan berhasil masuk ke S1 program ekstensi UI. Nalar berhasil lulus dengan predikat Cum Laude. Bagaimana dia membiayai kuliahnya tersebut sama sekali tidak mau diceritakannya. Biarlah itu menjadi rahasia yang tidak perlu saya ketahui. Sekarang Nalar sudah lumayan mapan, berdamai dengan ayahnya, bekerja di suatu perusahaan asuransi, kadang menjadi dosen di suatu perguruan tinggi swasta dan membina keluarga bahagia dengan satu anak yang lucu. Well done Nalar

Saya sebagai ekonom berusaha menggali dari kisah-kisah ini, bagaimana mobilitas vertikal bisa terjadi. Kebijakan apa yang harus diterapkan agar Nalar2 dan Rasa2 yang lain bisa lebih mudah dan lebih cepat "naik kelas"

1 comment:

  1. Menarik.. Terutama karena judulnya ternyata beda jauuhhh dari isinya hehe :D

    Menarik Pak isu mobilitas sosial ini. Studi komprehensif dengan data IFLS pernah dilakukan oleh mahasiswa doktoral sosiologi UI, Pattinasary (2012). Waktu itu saya cuma baca versi pendek yang ia tulis di Prisma. Oh ya, studinya di Jawa Barat dan Jawa Timur lho Pak :D

    Beberapa hal yang saya ingat adalah bahwa status dalam masyarakat Indonesia adalah ascribed status bukan achieved. Kemudian, susahnya naik kelas untuk kelas bawah adalah karena ketiadaan pendidikan. Gender juga pengaruh, perempuan probabilitasnya lebih susah kata studi itu. Dia menganggap keadaan pasar kerja memberikan peluang ekonomi yang relatif lebih baik untuk lelaki. Yang menarik lain adalah semakin dekat dengan Jakarta semakin gampang untuk naik kelas.

    ReplyDelete